FULAN DAN KEGALAUANNYA


Mohamad Ansori

Fulan adalah orang yang sangat kaya. Bisnisnya sukses luar biasa sepuluh tahun terakhir. Keluarganya bahagia. Ia memiliki seorang anak yang baru saja menyelesaikan kuliahnya. Saat ini, anaknya tersebut sedang mempersiapkan bisnisnya sendiri. Tentunya, bagi Fulan ini juga merupakan tantangan. Ia berhasil meraih kejayaan, lalu apakah kejayaan itu juga akan diraih anaknya?

Beberapa hari ini Fulan merasa galau. Pandemi Covid 19 membuatnya ketakutan. Betapa tidak, secara makro pandemi ini sangat berbahaya bagi orang seusianya. Saat ini ia sehat-sehat saja. Tapi ia tahu, tidak hanya masyarakat biasa, bahkan tenaga medis pun banyak yang berguguran dihantam Corona. Ia tahu, bahwa sekali ia terkena, maka sungguh sangat berbahaya bagi dirinya yang sudah berusia kepala enam.

Fulan memutuskan untuk tinggal di rumah. Ia tak melakukan apa-apa. Karena ia sudah tidak membutuhkan apa-apa. Ia tidak perlu bekerja, karena hartanya sangat banyak kalau hanya sekedar hidup enak saja. Hari-harinya hanya bercengkerama dengan istrinya, main bersama hewan piaraannya, menyanyi di ruang home teathernya, dan nonton TV untuk melihat perkembangan kasus Corona. Kalau lelah, ia akan berganti bermain telepon pintarnya. Disitu ia juga dapat melihat lebih luas lagi akan perkembangan kasus Corona di seluruh dunia.

Hatinya benar-benar miris. Ia melihat Negara sehebat Italy, porak poranda dan sempoyongan menghadapi kasus kematian akibat Corona. Negera dengan kualitas kesehatan, jaminan social, dan kebersihan yang sangat baik dan berkelas dunia, harus juga babak belur dihajar Corona. Ia juga melihat Jerman, negara maju dengan kemajuan teknologinya yang luar biasa, memiliki nasib yang sama. Terakhir, ia melihat betapa Amerika, negara adidaya yang menggelari dirinya polisi dunia, juga tidak berdaya menghadapi serangan makhluk kecil yang bernama virus Corona.

Fulan sejenak terkesiap. Dihatinya muncul pertanyaan besar dan menggelisihkan. Uang, mobil, rumah, saham, dan semuanya yang dimilikinya, akankah dapat membantunya? Apakah Italy kurang canggih alat kesehatannya, apakah Jerman kurang hebat dokter-dokternya, atau apakah Amerika kurang hebat pakar-pakar medisnya? Toh begitu banyak rakyatnya yang tumbang dan harus menyerah kalah dalam perangnya melawan Corona.
Lalu, kalau sampai aku terkena, sampai aku harus menemui ajalku, apa yang akan aku bawa?

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu menggelayut di hati si Fulan. Hatinya resah dan gelisah, tak tentu arah. Betapa tidak. Puluhan tahun ia membangun bisnisnya, mengumpulkan uang triliunan rupiah. Puluhan mobil dimilikinya. Dari yang berharga 1 miliar an rupiah sampai yang berharga puluhan miliar rupiah. Ia beli rumah-rumah mewah. Hari ini di rumah ke satu, hari lain di rumah lainnya. Apapun yang ia mau, selalu ada. Apapun yang ia inginkan, selalu ia dapatkan.

Tapi apa? Naik mobil mewah ya begitu-begitu aja, tidur di ranjang yang berharga puluhan juta rupiah juga begitu-begitu saja. Apalagi makan, makanan yang paling mahal di restoran termahal, baik restoran Jepang, Amerika, Perancis, atau restoran apa saja, semuanya sudah ia coba semua. Alhasil, dia masih senang dengan sambel terasi dan bandeng goring buatan istrinya.

Selama ini waktunya ia habiskan untuk kekayaan dan kejayaanya. Ia berperang dan menang di dunia bisnisnya. Ia tak peduli bagaimanapun caranya. Yang penting menang dan menang. Ia ditakuti oleh setiap musuhnya, ia disegani oleh semua kawannya.

Tapi kini, ketika Corona mengancam semua orang termasuk dirinya? Apa kiranya yang bisa ia handalkan? Obat Corona belum ditemukan, apalagi vaksinnya. Cara mencegahnya hanya dengan physical distancing dan menjaga kebersihan tangan, itu pun sudah dilakukannya. Kalau saja, ia terkena lalu mati, apa yang akan ia bawa sebagai bekal perjalanan akhiratnya?

Fulan mengambil nafas panjang. Ia sadar sesadar-sadarnya. Selama ini ia tertipu. Tertipu oleh kemegahan dunia. Tertipu oleh kekayaan dan kejayaan di dunia. Selama enam puluh tahun sudah, ia mengabaikan akhiratnya. Selama ini, uang dan uang saja yang ada dalam agendanya.

Hari-hari dalam lockdown ia mulai menyadari, betapa semua yang ia miliki hanya begitu-begitu saja. Hanya penampilan yang wah, kehidupan yang mewah, hanya puji-pujian dari koleganya yang membuat ia melambung. Selebihnya, kehidupannya kosong.

Ia hanya bergeser dari kesenangan yang satu dengan kesenangan lainnya. Setelahnya, ia merasakan hampa. Seperti ada sesuatu yang kosong dan tidak bisa diisi apapun juga yang ada di salah satu bagian hatinya. Sayangnya, ia tidak tahu itu apa dan mengapa.

Hari ini seorang temannya menasehatinya. Ia merasakan kosong karena ia jauh dengan Tuhannya. Ia merasa tidak tenang karena ia lupa akan jati dirinya. Ia merasa tidak bahagia karena semua yang ia punya hanya ia nikmati sendiri. Ia tidak tahu betapa bahagianya ketika ia dapat menolong orang lain. Ia tidak pernah merasakan betapa bahagianya kita ketika kita dapat membuat orang bahagia. Sejauh ini, yang ia temui hanya "senang", bukan bahagia. Karena itulah, seperti ada satu "gigi" yang lepas, dari gear penggerak roda hidupnya.

Wallahu’alam.  

Comments

  1. Sangat renyah dan mudah dicerna... Cerita yang sangat layak untuk menjadi bahan renungan...

    Banyak dan kemewahan bagian dari ciri berkah... Akan tetapi, berkah yang sesungghnya ternyata ziyadatu attuqo...

    Berkah tak hanya berhenti pada "pertambahan saja" tetapi "pertambahan ketaqwaan"....

    ReplyDelete
  2. Mencari jati diri dalam bentuk apalagi selain menambah kedekatan ke pada Yang Maha mengetahui.
    Corona diciptakan untuk orang2 yang berfikir.

    ReplyDelete
    Replies
    1. apalagi setelah berpikir dilanjutkan bertindak...akan lebih baik...

      Delete

Post a Comment