Mohamad Ansori
Hidup sukses harapan setiap insan. Di dunia orang ingin mendapatkan kebahagian dengan berupaya meraih cita-cita yang diinginkan. Ketika cita-cita itu dicapai, keinginannya terpenuhi, do'a-do'anya terkabul, seseorang akan menikmati "kepuasan". Kepuasaan itulah yang diharapkan dapat menghadirkan kebahagiaan pada diri dan keluarganya.
Namun demikian, tidak semua orang merasakan kebahagiaan pada saat ia sudah mencapai keinginannya itu. Banyak orang yang hidupnya menjadi kacau ketika ia sudah mencapai puncak karir yang diinginkannya. Banyak keluarga yang berantakan justru ketika kehidupan sosial ekonominya pada posisi yang sempurna. Keberhasilan mencapai keinginan, harapan, dan cita-cita ternyata tidak selalu linier dengan tercapainya kebahagiaan.
Banyak keluarga mengawali hidup dalam kemiskinan. Dengan bekerja keras memeras keringat dan membanting tulang keluarga itu berhasil melewati fase-fase kekurangannya. Namun ketika sudah meraih kekayaan, keluarga itu justru berantakan. Bukan karena masalah ekonomi, tetapi justru karena masalah sang ayah yang menikah lagi, sang ibu yang terlalu banyak bersosialisasi, atas sang anak yang terlibat dalam berbagai kenakalan remaja. Alhasil, justru ketika miskin mereka rukun, damai, dan bahagia, sebaliknya pada saat kaya mereka kehilangan kebahagiannya itu.
Kebahagiaan tidak sama dengan kesuksesan. Kesuksesan seseorang, tidak selalu membawa kebahagiaan. Apalagi, kalau kesukseannya diperoleh dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan syariat. Namun demikian, sebagai makhluk jasmaniah, kesuksesan merupakan salah satu komponen penunjang diraihnya kebahagiaan. Orang juga akan sulit mendapatkan kebahagiaan, ketika ia harus menggantungkan diri pada manusia untuk memenuhi kebutuhan makan dan minumnya, atau orang yang sangat kesulitan bahkan untuk mendapatkan sesuatu untuk dikonsumsi sehari-hari.
Kesuksesan biasanya diukur dengan kekayaan, kedudukan, dan status sosial. Seseorang mungkin berkata, "Temanku sukses sekarang, rumahnya bagus, kebunnya luas, mobilnya banyak, tabungannya menumpuk. Orang lain berkata, temanku sukses, ia sekaran menjadi kepala bagian di pemerintah daerah atau bahkan sekarang ia menjadi kepala daerah. Atau...atau...dan seterusnya."
Menurut Agung Sasongko, sebagaimana dimuat dalam republika.co.id tanggal 12 Juli 2017, bahwa dalam tradisi Islam, kebahagiaan pada dasarnya merujuk pada salah satu kata dalam bahasa Arab yang disebut sa’adah. Sa’adah adalah kata bentukan dari suku kata sa’adah, yang berarti bahagia.
Imam al-Ghazali, dalam kitab Ihya Ulumiddin, menjelaskan bahwa bahagia merupakan sebuah kondisi spiritual, saat manusia berada dalam satu puncak ketakwaan. Bahagia merupakan kenikmatan dari Allah SWT. Kebahagiaan itu adalah manifestasi berharga dari mengingat Allah.
Berdasarkan "dawuh" di atas, bahagia dapat diperoleh hanya ketika kita dekat dengan Allah Swt. Bahagia adalah pemberian Allah Swt sehingga semakin mendekat padaNya, kita akan semakin cepat dan mudah memperolehnya. Kebahagian bukan terkoneksi langsung dengan kekayaan materi, kedudukan atau jabatan, ketenaran, atau status sosial yang tinggi. Ketakwaan, keimanan, keshalehan, merupakan faktor utama untuk mendapatkan kebahagiaan. Tanpa itu semua, kita hanya mendapatkan "kebahagian semu" yang sebenarnya hanya berhenti pada "kesenangan". Sayangnya banyak orang yang memaknai kebahagiaan dengan kesenangan, sehingga "kemayaan" itulah yang sering didapatkan.
Kebahagian muncul dari dalam jiwa. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kebagaian kita harus senantiasa memperhatikan "kepentingan" jiwa itu sendiri. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk meraih kebahagiaan adalah sebagai berikut:
Pertama, mengendalikan syahwat. Mengendalikan kekuatan syahwat dapat dilakukan dengan mengunggulkan orientasi keakhiratan. Caranya, adalah dengan mengorientasikan semua kegiatannya untuk kepentingan akhirat. Misalnya, ketika ia bekerja mencari nafkah, maka orientasinya bukanlah untuk mendapatkan uang sebanyak-banyak, tetapi justru untuk memenuhi kewajiban mencari nafkah untuk anak istrinya, untuk membiayai ibadahnya, untuk membantu fakir miskin dan kelompok-kelompok lemah lainnya. Dengan begitu, semua "amal dunia"nya, diarahkan pada tujuan akhirat.
Kedua, melakukan kebajikan. Jiwa akan tenang ketika kita melakukan kebajikan. Kebajikan tidak menjanjikan feedback materi, tetapi kebajikan akan "mengayakan" hati kita. Kebajikan adalah makanan pokok yang diperlukan jiwa. Dengan berbuat baik, sekecil apapun kebajikan itu, akan membawa energi positif pada jiwa seseorang.
Ketiga, konsisten untuk mendekatkan diri pada Allah Swt. Dalam hal ini, cara yang paling tepat adalah dengan dzikir dan shalat. Dengan berdzikir hati kita akan tenang. Dalam Al-Quran Surat Ar-Ra’d Ayat 28, Allah Swt berfirman:
Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Dengan berdzikir, kita akan merasakan backing yang "segala maha", sehingga kita tidak akan merasakan khawatir. Berdzikir adalah mengingat Allah Swt, dan menempatkan Alla Swt dalam posisi utama dari setiap hembusan nafas kita. Allah dulu, Allah lagi, dan Allah terus.
Wallahu a'lam.
Hidup sukses harapan setiap insan. Di dunia orang ingin mendapatkan kebahagian dengan berupaya meraih cita-cita yang diinginkan. Ketika cita-cita itu dicapai, keinginannya terpenuhi, do'a-do'anya terkabul, seseorang akan menikmati "kepuasan". Kepuasaan itulah yang diharapkan dapat menghadirkan kebahagiaan pada diri dan keluarganya.
Namun demikian, tidak semua orang merasakan kebahagiaan pada saat ia sudah mencapai keinginannya itu. Banyak orang yang hidupnya menjadi kacau ketika ia sudah mencapai puncak karir yang diinginkannya. Banyak keluarga yang berantakan justru ketika kehidupan sosial ekonominya pada posisi yang sempurna. Keberhasilan mencapai keinginan, harapan, dan cita-cita ternyata tidak selalu linier dengan tercapainya kebahagiaan.
Banyak keluarga mengawali hidup dalam kemiskinan. Dengan bekerja keras memeras keringat dan membanting tulang keluarga itu berhasil melewati fase-fase kekurangannya. Namun ketika sudah meraih kekayaan, keluarga itu justru berantakan. Bukan karena masalah ekonomi, tetapi justru karena masalah sang ayah yang menikah lagi, sang ibu yang terlalu banyak bersosialisasi, atas sang anak yang terlibat dalam berbagai kenakalan remaja. Alhasil, justru ketika miskin mereka rukun, damai, dan bahagia, sebaliknya pada saat kaya mereka kehilangan kebahagiannya itu.
Kebahagiaan tidak sama dengan kesuksesan. Kesuksesan seseorang, tidak selalu membawa kebahagiaan. Apalagi, kalau kesukseannya diperoleh dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan syariat. Namun demikian, sebagai makhluk jasmaniah, kesuksesan merupakan salah satu komponen penunjang diraihnya kebahagiaan. Orang juga akan sulit mendapatkan kebahagiaan, ketika ia harus menggantungkan diri pada manusia untuk memenuhi kebutuhan makan dan minumnya, atau orang yang sangat kesulitan bahkan untuk mendapatkan sesuatu untuk dikonsumsi sehari-hari.
Kesuksesan biasanya diukur dengan kekayaan, kedudukan, dan status sosial. Seseorang mungkin berkata, "Temanku sukses sekarang, rumahnya bagus, kebunnya luas, mobilnya banyak, tabungannya menumpuk. Orang lain berkata, temanku sukses, ia sekaran menjadi kepala bagian di pemerintah daerah atau bahkan sekarang ia menjadi kepala daerah. Atau...atau...dan seterusnya."
Menurut Agung Sasongko, sebagaimana dimuat dalam republika.co.id tanggal 12 Juli 2017, bahwa dalam tradisi Islam, kebahagiaan pada dasarnya merujuk pada salah satu kata dalam bahasa Arab yang disebut sa’adah. Sa’adah adalah kata bentukan dari suku kata sa’adah, yang berarti bahagia.
Imam al-Ghazali, dalam kitab Ihya Ulumiddin, menjelaskan bahwa bahagia merupakan sebuah kondisi spiritual, saat manusia berada dalam satu puncak ketakwaan. Bahagia merupakan kenikmatan dari Allah SWT. Kebahagiaan itu adalah manifestasi berharga dari mengingat Allah.
Berdasarkan "dawuh" di atas, bahagia dapat diperoleh hanya ketika kita dekat dengan Allah Swt. Bahagia adalah pemberian Allah Swt sehingga semakin mendekat padaNya, kita akan semakin cepat dan mudah memperolehnya. Kebahagian bukan terkoneksi langsung dengan kekayaan materi, kedudukan atau jabatan, ketenaran, atau status sosial yang tinggi. Ketakwaan, keimanan, keshalehan, merupakan faktor utama untuk mendapatkan kebahagiaan. Tanpa itu semua, kita hanya mendapatkan "kebahagian semu" yang sebenarnya hanya berhenti pada "kesenangan". Sayangnya banyak orang yang memaknai kebahagiaan dengan kesenangan, sehingga "kemayaan" itulah yang sering didapatkan.
Kebahagian muncul dari dalam jiwa. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kebagaian kita harus senantiasa memperhatikan "kepentingan" jiwa itu sendiri. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk meraih kebahagiaan adalah sebagai berikut:
Pertama, mengendalikan syahwat. Mengendalikan kekuatan syahwat dapat dilakukan dengan mengunggulkan orientasi keakhiratan. Caranya, adalah dengan mengorientasikan semua kegiatannya untuk kepentingan akhirat. Misalnya, ketika ia bekerja mencari nafkah, maka orientasinya bukanlah untuk mendapatkan uang sebanyak-banyak, tetapi justru untuk memenuhi kewajiban mencari nafkah untuk anak istrinya, untuk membiayai ibadahnya, untuk membantu fakir miskin dan kelompok-kelompok lemah lainnya. Dengan begitu, semua "amal dunia"nya, diarahkan pada tujuan akhirat.
Kedua, melakukan kebajikan. Jiwa akan tenang ketika kita melakukan kebajikan. Kebajikan tidak menjanjikan feedback materi, tetapi kebajikan akan "mengayakan" hati kita. Kebajikan adalah makanan pokok yang diperlukan jiwa. Dengan berbuat baik, sekecil apapun kebajikan itu, akan membawa energi positif pada jiwa seseorang.
Ketiga, konsisten untuk mendekatkan diri pada Allah Swt. Dalam hal ini, cara yang paling tepat adalah dengan dzikir dan shalat. Dengan berdzikir hati kita akan tenang. Dalam Al-Quran Surat Ar-Ra’d Ayat 28, Allah Swt berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Dengan berdzikir, kita akan merasakan backing yang "segala maha", sehingga kita tidak akan merasakan khawatir. Berdzikir adalah mengingat Allah Swt, dan menempatkan Alla Swt dalam posisi utama dari setiap hembusan nafas kita. Allah dulu, Allah lagi, dan Allah terus.
Wallahu a'lam.