Mohamad Ansori
Idul Fitri telah tiba. Konsentrasi muslim di Indonesia adalah silaturrahim. Mengunjungi orang tua, mertua, kakek nenek, paman bibi, teman sekolah, teman kantor, dan banyak lagi yang lainnya. Semua demi memanfaatkan momentum yang bernama lebaran, dimana silaturahmi tidak hanya bernuansa syar'i, tetapi juga tradisi.
Secara umum, silaturrahim berarti menyambung tali kekerabatan atau menyambung sanak saudara. Ulama berbeda pendapat, tentang obyek silaturrahim ini. Ada yang mengkhususkan pada orang-orang yang memilki kaitannya dengan nasab, adapula yang berpandangan lebih umum yaitu bahwa silaturrahim dapat juga berarti menyambungkan kasih sayang kepada sesama muslim.
Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama dalam memaknai silaturrahim dalam konteks objeknya, mereka sepakat bahwa silaturrahim memiliki makna yang mendalam menurut syariat Islam.
Berkaitan dengan silaturrahim ini, Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa beriman (dengan sempurna) kepada Allah dan hari akhir maka sambunglah kerabatnya.”(HR. Bukhori Muslim). Dalam kesempatan lain beliau ditanya, “Siapakah manusia yang paling utama?” Beliau menjawab, “Yang paling bertakwa kepada Allah dan paling menyambung tali kekerabatan.” (HR. Ahmad dan at-Thabrani). Sementara bagi orang-orang yang memutus silaturrahim, ancaman besar akan didapatkannya. Rasulullah Saw bersabda, Tidak akan masuk surga orang yang memutus (tali kerabat) (HR. Bukhori Muslim dan lainnya)
Silaturrahim sering dimaknai dengan anjangsana. Itulah mengapa tradisi di Indonesia, khususnya di masyarakat Jawa, silaturrahim diwujudkan dengan saling mengunjungi antara satu kerabat dengan kerabat yang lain, antara teman yang satu dengan teman yang lain. Bahkan kemudian dikreasikan suatu wahana yang bernama halal bi halal yang tidak lain merupakan perwujudan dari silaturrahim dan ekspresi permintaan maaf seseorang kepada orang lain.
Oleh karena itu, Idul Fitri di Indonesia menjadi sesuatu yang heboh. Orang-orang yang tinggal ratusan kilometer jauhnya, akan berdatangan ke kampung halaman, "sekedar" untuk bersilaturrahim dengan kerabatnya. Lalu, muncullah budaya "mudik" dengan segala plus minusnya. Banyak kritikus yang mengatakan budaya mudik sebagai budaya yang tidak pas, pemborosan, bahkan tidak ada "dalil naqlinya". Sehingga, mudik dianggap sebagai sesuatu yang sia-sia dan perbuatan yang bid'ah.
Sementara kelompok lainnya menunjukkan fakta-fakta bahwa secara sosial dan ekonomi, budaya mudik justru sangat bermanfaat bagi "pemerataan kesejahteraan" dari kota ke desa. Dalam mudik juga terjadi perpindahan barang dan uang yang sangat bermanfaat untuk menguatkan ekonomi desa. Selain itu, moment satu tahun sekali bertemua dengan keluarga besar dan kerabat jauh juga menjadi perekat persaudaraan yang secara sosial sangat besar manfaatnya. Apalagi, jika dikaitkan dengan bakti anak kepada orang tua yang tinggal di kampung, tentu nuansa ruhaihnya akan semakin menguat.
Persolannya adalah, ketika mudik di larang, dan silaturrahim dalam makna anjangsana juga sangat dibatasi, dalam rangka memutus rantai penyebaran C19. Apakah silaturrahim masih memiliki makna?
Dalam suatu kesempatan, KH Muhson Hamdani M.Sy., menjelaskan, "bahwa anjangsana bisa saja dibatasi, tetapi silaturrahim tetap harus dijalankan". Artinya, silaturrahim tidak harus dimaknai sebagai "anjangsana" atau "tatap muka". Meskipun tanpa anjangsana, silaturrahim masih tetap harus dijalankan.
Penggunaan media sosial, aplikasi video conference, pengiriman pesan singkat, pengiriman kartu lebaran, dan produk-produk media lainnya merupakan salah satu wasilah untuk menerapkan syariat silaturrahim. Pesan utama silaturrahim adalah pengiriman pesan kasih sayang dan persaudaraan, sehingga tidak harus secara fisik ada pertemuan. Ketika pesan kasih sayang dan persaudaraan itu dapat tersampaikan, apapun medianya, semua tetap dapat dilakukan. Dengan tidak perlu merasa kurang karenanya. Anjangsana memang terbatas ruang dan waktu, tetapi silaturrahim tidak lagi terbatas oleh sekat ruang dan waktu itu.
Wallahu a'lam. (ans)
Idul Fitri telah tiba. Konsentrasi muslim di Indonesia adalah silaturrahim. Mengunjungi orang tua, mertua, kakek nenek, paman bibi, teman sekolah, teman kantor, dan banyak lagi yang lainnya. Semua demi memanfaatkan momentum yang bernama lebaran, dimana silaturahmi tidak hanya bernuansa syar'i, tetapi juga tradisi.
Secara umum, silaturrahim berarti menyambung tali kekerabatan atau menyambung sanak saudara. Ulama berbeda pendapat, tentang obyek silaturrahim ini. Ada yang mengkhususkan pada orang-orang yang memilki kaitannya dengan nasab, adapula yang berpandangan lebih umum yaitu bahwa silaturrahim dapat juga berarti menyambungkan kasih sayang kepada sesama muslim.
Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama dalam memaknai silaturrahim dalam konteks objeknya, mereka sepakat bahwa silaturrahim memiliki makna yang mendalam menurut syariat Islam.
Berkaitan dengan silaturrahim ini, Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa beriman (dengan sempurna) kepada Allah dan hari akhir maka sambunglah kerabatnya.”(HR. Bukhori Muslim). Dalam kesempatan lain beliau ditanya, “Siapakah manusia yang paling utama?” Beliau menjawab, “Yang paling bertakwa kepada Allah dan paling menyambung tali kekerabatan.” (HR. Ahmad dan at-Thabrani). Sementara bagi orang-orang yang memutus silaturrahim, ancaman besar akan didapatkannya. Rasulullah Saw bersabda, Tidak akan masuk surga orang yang memutus (tali kerabat) (HR. Bukhori Muslim dan lainnya)
Silaturrahim sering dimaknai dengan anjangsana. Itulah mengapa tradisi di Indonesia, khususnya di masyarakat Jawa, silaturrahim diwujudkan dengan saling mengunjungi antara satu kerabat dengan kerabat yang lain, antara teman yang satu dengan teman yang lain. Bahkan kemudian dikreasikan suatu wahana yang bernama halal bi halal yang tidak lain merupakan perwujudan dari silaturrahim dan ekspresi permintaan maaf seseorang kepada orang lain.
Oleh karena itu, Idul Fitri di Indonesia menjadi sesuatu yang heboh. Orang-orang yang tinggal ratusan kilometer jauhnya, akan berdatangan ke kampung halaman, "sekedar" untuk bersilaturrahim dengan kerabatnya. Lalu, muncullah budaya "mudik" dengan segala plus minusnya. Banyak kritikus yang mengatakan budaya mudik sebagai budaya yang tidak pas, pemborosan, bahkan tidak ada "dalil naqlinya". Sehingga, mudik dianggap sebagai sesuatu yang sia-sia dan perbuatan yang bid'ah.
Sementara kelompok lainnya menunjukkan fakta-fakta bahwa secara sosial dan ekonomi, budaya mudik justru sangat bermanfaat bagi "pemerataan kesejahteraan" dari kota ke desa. Dalam mudik juga terjadi perpindahan barang dan uang yang sangat bermanfaat untuk menguatkan ekonomi desa. Selain itu, moment satu tahun sekali bertemua dengan keluarga besar dan kerabat jauh juga menjadi perekat persaudaraan yang secara sosial sangat besar manfaatnya. Apalagi, jika dikaitkan dengan bakti anak kepada orang tua yang tinggal di kampung, tentu nuansa ruhaihnya akan semakin menguat.
Persolannya adalah, ketika mudik di larang, dan silaturrahim dalam makna anjangsana juga sangat dibatasi, dalam rangka memutus rantai penyebaran C19. Apakah silaturrahim masih memiliki makna?
Dalam suatu kesempatan, KH Muhson Hamdani M.Sy., menjelaskan, "bahwa anjangsana bisa saja dibatasi, tetapi silaturrahim tetap harus dijalankan". Artinya, silaturrahim tidak harus dimaknai sebagai "anjangsana" atau "tatap muka". Meskipun tanpa anjangsana, silaturrahim masih tetap harus dijalankan.
Penggunaan media sosial, aplikasi video conference, pengiriman pesan singkat, pengiriman kartu lebaran, dan produk-produk media lainnya merupakan salah satu wasilah untuk menerapkan syariat silaturrahim. Pesan utama silaturrahim adalah pengiriman pesan kasih sayang dan persaudaraan, sehingga tidak harus secara fisik ada pertemuan. Ketika pesan kasih sayang dan persaudaraan itu dapat tersampaikan, apapun medianya, semua tetap dapat dilakukan. Dengan tidak perlu merasa kurang karenanya. Anjangsana memang terbatas ruang dan waktu, tetapi silaturrahim tidak lagi terbatas oleh sekat ruang dan waktu itu.
Wallahu a'lam. (ans)
Mantap. Anjangsana bisa dibatasi tapi tidak dengan silaturrahmi
ReplyDeleteMatur nuwun ustadz...
DeleteNjih tadz... Top wes....
ReplyDelete