Hari istimewa itu bernama Idul Fitri. Kata itu berasal dari bahasa Arab yang mana id berarti kembali, dan fitri berarti suci atau fitrah. Ketika sampai pada tahapan Idul Fitri, diharapkan semua mukmin kembali pada fitrahnya, kembali pada kesecuiannya.
Hal ini bukannya tanpa alasan, karena semua mukmin yang berpuasa Ramadan dengan niat hanya karena iman dan mengharap ridlo Allah Swt, maka Allah Swt akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Sehingga ketika sampai pada Idul Fitri, maka orang beriman akan bersih dari dosanya, seperti ketika ia dilahirkan oleh ibunya.
Sabda Nabi Muhammad Saw:
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan didasari iman dan semata-mata karena mengharap ridho Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (Muttafaq ‘alayh).
Pertanyaannya, apakah puasa kita benar-benar hanya karena iman dan mengharap ridlo Allah semata? Atau, adakah puasa kita juga tercampuri oleh tekanan-tekanan selain Allah, seperti malu pada anaknya, atau sungkan sama atasannya, atau takut pada orang tuanya? Tentu hanya Allah saja yang tahu.
Terlepas dari itu semua, semua orang berhak bahagia dengan datangnya Idul Fitri. Meskipun predikat muttaqien belum tentu didapatkan oleh semuanya, tapi Idul Fitri adalah hari kebahagiaan. Kebahagiaan bagi semua? Apa hanya bagi orang-orang yang puasa? Atau bagi semuanya?
Seharusnya, memang hanya bagi orang-orang yang berpuasa saja. Karena, mereka telah berhasil menjalankan ibadah yang panjang dan melelahkan, ibadah yang tidak hanya membutuhkan kekuatan mental, pun juga membutuhkan kekuatan fisik. Sehingga, mereka berhak bahagia, berhak bergembira, karena keberhasilan itu.
Tapi realitasnya, semua orang bahagia. Puasa atau tidak, mukmin atau tidak, bahkan muslim atau tidak, kita bisa melihat semuanya bahagia. Dan, itulah Islam. Agama rahmatan lil alamin.
Betapa tidak, ketika Idul Fitri tiba, orang kaya, orang setengah kaya, bahkan orang yang agak kaya saja, dengan senang hati, ikut bersedekah dengan mengharap keberkahan Ramadan. Sehingga, menjelang Idul Fitri, orang-orang miskin tidak lagi susah. Beras, minyak goreng, kopi, teh, sirup, kue lebaran, bertebaran ke rumah-rumah orang miskin, demi menyambut hari kemenangan.
Dan, hebatnya, sedekah yang diberikan itu, tidak pernah mensyaratkan apakah penerima itu shalat apa tidak, puasa apa tidak, Islam betulan atau hanya KTPnya saja yang Islam, bahkan tidak juga ditanya apakah ia Islam atau tidak. Memberi ya memberi, sedekah ya sedekah, titik.
Tidak hanya perorangan, kelompok-kelompok masyarakat, perusahaan kecil atau besar, organisasi-organisas, partai politik, semua berlomba-lomba memberikan bingkisan lebaran. Dengan atau tanpa label, semuanya hanya ingin membuat orang-orang miskin bahagia ketika Idul Fitri tiba.
Mungkin, sebenarnya itulah salah satu fitrah kita. Fitrah kita adalah orang yang peduli. Peduli terhadap sesama, khususnya orang-orang yang kurang mampu ekonominya. Fitrah inilah yang wajib selalu dijaga. Fitrah kemanusiaan, yang memanusiakan manusia lainnya. Fitrah yang tidak ingin bahagia sendiri di hari raya, tapi bahagia ketika melihat orang lain juga ikut bahagia.
Wallahu'alam.
Hal ini bukannya tanpa alasan, karena semua mukmin yang berpuasa Ramadan dengan niat hanya karena iman dan mengharap ridlo Allah Swt, maka Allah Swt akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Sehingga ketika sampai pada Idul Fitri, maka orang beriman akan bersih dari dosanya, seperti ketika ia dilahirkan oleh ibunya.
Sabda Nabi Muhammad Saw:
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan didasari iman dan semata-mata karena mengharap ridho Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (Muttafaq ‘alayh).
Pertanyaannya, apakah puasa kita benar-benar hanya karena iman dan mengharap ridlo Allah semata? Atau, adakah puasa kita juga tercampuri oleh tekanan-tekanan selain Allah, seperti malu pada anaknya, atau sungkan sama atasannya, atau takut pada orang tuanya? Tentu hanya Allah saja yang tahu.
Terlepas dari itu semua, semua orang berhak bahagia dengan datangnya Idul Fitri. Meskipun predikat muttaqien belum tentu didapatkan oleh semuanya, tapi Idul Fitri adalah hari kebahagiaan. Kebahagiaan bagi semua? Apa hanya bagi orang-orang yang puasa? Atau bagi semuanya?
Seharusnya, memang hanya bagi orang-orang yang berpuasa saja. Karena, mereka telah berhasil menjalankan ibadah yang panjang dan melelahkan, ibadah yang tidak hanya membutuhkan kekuatan mental, pun juga membutuhkan kekuatan fisik. Sehingga, mereka berhak bahagia, berhak bergembira, karena keberhasilan itu.
Tapi realitasnya, semua orang bahagia. Puasa atau tidak, mukmin atau tidak, bahkan muslim atau tidak, kita bisa melihat semuanya bahagia. Dan, itulah Islam. Agama rahmatan lil alamin.
Betapa tidak, ketika Idul Fitri tiba, orang kaya, orang setengah kaya, bahkan orang yang agak kaya saja, dengan senang hati, ikut bersedekah dengan mengharap keberkahan Ramadan. Sehingga, menjelang Idul Fitri, orang-orang miskin tidak lagi susah. Beras, minyak goreng, kopi, teh, sirup, kue lebaran, bertebaran ke rumah-rumah orang miskin, demi menyambut hari kemenangan.
Dan, hebatnya, sedekah yang diberikan itu, tidak pernah mensyaratkan apakah penerima itu shalat apa tidak, puasa apa tidak, Islam betulan atau hanya KTPnya saja yang Islam, bahkan tidak juga ditanya apakah ia Islam atau tidak. Memberi ya memberi, sedekah ya sedekah, titik.
Tidak hanya perorangan, kelompok-kelompok masyarakat, perusahaan kecil atau besar, organisasi-organisas, partai politik, semua berlomba-lomba memberikan bingkisan lebaran. Dengan atau tanpa label, semuanya hanya ingin membuat orang-orang miskin bahagia ketika Idul Fitri tiba.
Mungkin, sebenarnya itulah salah satu fitrah kita. Fitrah kita adalah orang yang peduli. Peduli terhadap sesama, khususnya orang-orang yang kurang mampu ekonominya. Fitrah inilah yang wajib selalu dijaga. Fitrah kemanusiaan, yang memanusiakan manusia lainnya. Fitrah yang tidak ingin bahagia sendiri di hari raya, tapi bahagia ketika melihat orang lain juga ikut bahagia.
Wallahu'alam.
Comments
Post a Comment