Belajar Kondisional

ilustrasi : merdeka.com
Situasi dan kondisi yang kita alami saat Pandemi C19, merupakan kondisi yang tidak normal. Dalam perkembangannya, pemerintah mengajak kita memasuki era baru yang disebut new nourmal. Namun demikian, ketidakpastian tetap saja ada dan tetap harus kita hadapi bersama-sama. Normal baru yang mulai disosialisasikan tidak serta merta menyelesaikan semua persoalan terdampak, tetapi juga memunculkan persoalan-persoalan baru.


Sampai pada saat tulisan ini ditulis, hanya pelayanan pendidikan saja yang belum dibuka. Pasar, pusat perbelanjaan, tempat wisata, transportasi umum, dan lain-lain semuanya telah dibuka. Namun demikian pemerintah hanya membuka sekolah untuk enam persen wilayah yang zona hijau. Sisanya masih tetap harus menjalankan program belajar dari rumah, karena masih berada di zona merah, oranye, atau kuning. Al hasil, lebih dari sembilan puluh persen sekolah tetap saja belum bisa melaksanakan pembelajaran tetap muka.
'
Pembukaan pembelajaran tatap muka untuk daerah zona hijau itupun, bukannya tanpa syarat. Rukun pertama untuk melaksanakan protokol kesehatan tetap harus dijalankan. Aturan-aturan ketat seperti penggunaan maseker atau face shield, cuci tangan pakai sabun atau menggunakan hand sanitizer, serta menjaga jarak pergaulan dan fisik tetap harus dijalankan. Dan sebagai syarat utama, zona hijau tetap harus dipertahankan. Jika hijau telah berubah menjadi kuning atau oranye apalagi merah, serta merta pembelajaran tatap muka harus segera dihentikan.

Dalam kondisi ketidakpastian ini, semua komponen di sekolah dan madrasah harus pandai-pandai mengatur strategi. Para guru tetap harus fokus untuk dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik karena hal itu bukan hanya tugas pekerjaan tetapi juga tanggung jawab sosial. Membiarkan anak-anak belajar di rumah, apalagi jika orang tua terpaksa bekerja, sama halnya dengan membiarkan anak-anak tidak belajar. Kegiatan "cankruk'an" anak hari-hari ini sudah mulai banyak kita temua di poskamling-poskamling baru, justru pada premiere time sekolah yaitu antara jam 7.00 sampai jam 10.00 pagi.

Ditempat-tempat itu, mereka tidak lagi mengamankan diri mereka dengan masker apalagi face shield ataupun phisical distancing, tetapi justru bersosialisasi dengan dengan situasi dan kondisi seperti seolah-olah tidak pernah ada apa-apa di dunia mereka. Dengan gembira mereka bermain kartu, bergerombol, tanpa ada satu orang dewasa yang mengawasi apalagi membimbing mereka. Sebagian yang lain, "keluyuran" kesana kemari menyusuri sungai dan memancing dengan tanpa memikirkan faktor bahaya adanya arus deras atau kedalaman sungai. Sekali lagi, juga tanpa orang dewasa yang mendampingi.

Hal-hal seperti itu tentu harus menjadi catatan dan perhatian guru dan orang tua. Anak-anak memang berhak bahagia dengan dunianya, tetapi guru dan orang tua juga memiliki kewajiban membimbing  anak untuk memilikh jalan yang benar, menggunakan kesempatan untuk belajar, serta melindungi mereka dari bahaya. Anak dapat mencari kebahagiaannya sendiri ketika kita biarkan hidup bebas dengan dunianya, tetapi hal itu sama halnya membiarkan anak menempuh bahaya yang bisa jadi akan sangat merugikannya.

Beberapa hal yang harus dilakukan dalam situasi ini antara lain : (1) guru tetap memberikan bimbingan secara daring, dengan memberikan tugas-tugas untuk dikerjakan secara mandiri maupun bersama orang tua. Tugas itu bukan mengerjakan soal, tetapi melakukan sesuatu yang mudah tetapi dapat killing time, sehingga anak tidak sempat untuk melakukan hal-hal yang tidak baik bagi perkembangan fisik mereka, (2) para orang tua tetap harus memprioritaskan keselamatan anak ketika bermain di luar, dengan bekerjasama dengan lingkungan, keluarga lain, atau baik sekelompok orang tua, untuk memberikan bimbingan dan pengawasan pada anak saat mereka bermain di luar, (3) guru dapat membuat kelompok-kelompok belajar,  yang terdiri dari maksimal 10 siswa, kemudian guru melakukan visitasi dan memberikan pembelajaran dalam durasi tertentu dan dalam periodisasi tertentu. Dalam artian guru tidak harus setiap hari visitasi, tetapi paling tidak seminggu sekali guru dapat bertemu dengan para siswa.

Belajar merupakan kegiatan yang dinamis, sehingga guru dan siswa dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai situasi dan kondisi yang ada. Intinya, tidak ada pelanggaran terhadap aturan-aturan pencegahan Covid 19 yang telah ditetapkan, tetapi pada saat yang sama paling tidak kita dapat tetap memberikan bimbingan dan arahan kepada siswa. Apalagi, untuk siswa usia SD ke bawah, pembelajaran tidak difokuskan pada pengetahuan, tetapi pada pembentukan karakter siswa. Sehingga, bertemu dengan guru tetap sangat diperlukan. (ans)

Comments

Post a Comment