Mohamad Ansori
Tidak ada kesepakatan para ahli bahasa Indonesia tentang makna "bobot" yang sebenarnya. Karena, bobot sendiri merupakan salah satu kata, yang berasal dari bahasa Jawa. Istilah "bobot" sering dikaitkan dengan fase mencari jodoh. Lengkapnya, ketika mencari jodoh, maka harus mempertimbangkan bobot, bibit, dan bebet.
"Bobot" seseorang ditentukan oleh kualitasnya, baik kualitas lahir maupun kualitas batin. Kualitas batin ditentukan oleh keimanan atau kepahaman seseorang terhadap agamanya, pendidikan, pekerjaan, kecakapan, dan perilaku. Sedangkan kualitas lahir ditentukan sebagus apa pekerjaan seseorang, kemampuan menafkahi keluarga, melindungi, dan membahagiakan keluarganya. Sedangkan bibit berkaitan dengan nasab, yaitu apakah seseorang merupakan keturanan bangsawan, orang baik, orang pangkat, atau sebaliknya.
Filosofi Jawa ini mengajarkan, ketika mau ngundhuh mantu akan mempertanyakan hal-hal tersebut kepada calon menantunya. Hal ini mereka lakukan sebagai kewajiban orang tua terhadap hak anak, yakni menikahkan dengan seseorang yang diyakini mampu membahagiakan anaknya. Karena setelah menikah tanggung jawab akan nafkah, perlindungan dan lain-lain berpindah ke suami. Oleh karena itu, tak heran terkadang ada orang tua yang cenderung memaksa atau intervensi urusan yang satu ini kepada putrinya. Sedangkan bebet, berkaitan dengan status sosial seseorang.
Dalam konteks pendidikan, seseorang dikatakan berbobot dengan mempertimbangkan seberapa besar pemahaman seseorang akan berbagai masalah. Dalam era Revolusi Industri 4.0 ini, bobot sesorang dikoneksikan dengan kemampuan berpikir kritis, berkomunikasi, berkolaborasi, dan berkreasi. Istilah yang sering dipakai adalah 4C, yaitu communication, collaboration, critical thinking, dan creativity and innovation. Seringkali, ditambahkan dengan kompetensi lainnya, yaitu character dan citizenship, sehingga menjadi 6C (six competencies) abad 21.
Salah satu upaya untuk meningkatkan "bobot" seseorang adalah dengan membaca. Membaca merupakan salah satu ketrampilan literasi yang sangat penting. Dengan banyak membaca seseorang akan memiliki banyak referensi untuk menyelesaikan berbagai persoaln dalam kehidupannya.
Namun kemampuan membaca tidak berarti hanya "melek huruf". Dalam konteks literasi, membaca merupakan kemampuan memahami makna dari sebuah informasi. Lebih dalam dari hal itu, membaca juga berkaitan dengan kemampuan seseorang membedakan mana informasi yang benar, atau mana informasi yang salah atau berita bohong. Kemapuan membaca ini akan menghasilkan kuasa dan daya etis, kritis, dan kreatif yang ditopang dengan kemampuan menulis.
Menurut Dr. Endrik Saifuddin dalam Diskon (Diskusi Online) yang diselenggarakan oleh LPPM IAIN Ponorogo dengan tema “Literasi di Masa Pandemi: Dari Usia Dini hingga Akademisi”, literasi merupakan poros pendidikan yang mengandung unsur membaca, menulis, serta kesadaran kritis, etis, dan kreatif. Kesadaran kritis, etis, dan kreatif diperoleh dengan mengikuti tahapan literasi secara benar yaitu "mendengarkan, menilai, menanggapi, memutuskan, dan menciptakan". Tahapan-tahapan itu tidak bisa "diloncati" karena akan meninmbulkan persolan terhadap pemahaman dan proses penanaman pola berpikir.
Tidak ada kesepakatan para ahli bahasa Indonesia tentang makna "bobot" yang sebenarnya. Karena, bobot sendiri merupakan salah satu kata, yang berasal dari bahasa Jawa. Istilah "bobot" sering dikaitkan dengan fase mencari jodoh. Lengkapnya, ketika mencari jodoh, maka harus mempertimbangkan bobot, bibit, dan bebet.
"Bobot" seseorang ditentukan oleh kualitasnya, baik kualitas lahir maupun kualitas batin. Kualitas batin ditentukan oleh keimanan atau kepahaman seseorang terhadap agamanya, pendidikan, pekerjaan, kecakapan, dan perilaku. Sedangkan kualitas lahir ditentukan sebagus apa pekerjaan seseorang, kemampuan menafkahi keluarga, melindungi, dan membahagiakan keluarganya. Sedangkan bibit berkaitan dengan nasab, yaitu apakah seseorang merupakan keturanan bangsawan, orang baik, orang pangkat, atau sebaliknya.
Filosofi Jawa ini mengajarkan, ketika mau ngundhuh mantu akan mempertanyakan hal-hal tersebut kepada calon menantunya. Hal ini mereka lakukan sebagai kewajiban orang tua terhadap hak anak, yakni menikahkan dengan seseorang yang diyakini mampu membahagiakan anaknya. Karena setelah menikah tanggung jawab akan nafkah, perlindungan dan lain-lain berpindah ke suami. Oleh karena itu, tak heran terkadang ada orang tua yang cenderung memaksa atau intervensi urusan yang satu ini kepada putrinya. Sedangkan bebet, berkaitan dengan status sosial seseorang.
Dalam konteks pendidikan, seseorang dikatakan berbobot dengan mempertimbangkan seberapa besar pemahaman seseorang akan berbagai masalah. Dalam era Revolusi Industri 4.0 ini, bobot sesorang dikoneksikan dengan kemampuan berpikir kritis, berkomunikasi, berkolaborasi, dan berkreasi. Istilah yang sering dipakai adalah 4C, yaitu communication, collaboration, critical thinking, dan creativity and innovation. Seringkali, ditambahkan dengan kompetensi lainnya, yaitu character dan citizenship, sehingga menjadi 6C (six competencies) abad 21.
Salah satu upaya untuk meningkatkan "bobot" seseorang adalah dengan membaca. Membaca merupakan salah satu ketrampilan literasi yang sangat penting. Dengan banyak membaca seseorang akan memiliki banyak referensi untuk menyelesaikan berbagai persoaln dalam kehidupannya.
Namun kemampuan membaca tidak berarti hanya "melek huruf". Dalam konteks literasi, membaca merupakan kemampuan memahami makna dari sebuah informasi. Lebih dalam dari hal itu, membaca juga berkaitan dengan kemampuan seseorang membedakan mana informasi yang benar, atau mana informasi yang salah atau berita bohong. Kemapuan membaca ini akan menghasilkan kuasa dan daya etis, kritis, dan kreatif yang ditopang dengan kemampuan menulis.
Menurut Dr. Endrik Saifuddin dalam Diskon (Diskusi Online) yang diselenggarakan oleh LPPM IAIN Ponorogo dengan tema “Literasi di Masa Pandemi: Dari Usia Dini hingga Akademisi”, literasi merupakan poros pendidikan yang mengandung unsur membaca, menulis, serta kesadaran kritis, etis, dan kreatif. Kesadaran kritis, etis, dan kreatif diperoleh dengan mengikuti tahapan literasi secara benar yaitu "mendengarkan, menilai, menanggapi, memutuskan, dan menciptakan". Tahapan-tahapan itu tidak bisa "diloncati" karena akan meninmbulkan persolan terhadap pemahaman dan proses penanaman pola berpikir.
Mantab pak...
ReplyDeleteThanks...
DeleteIni contoh penulis dan tulisan yg berbobot...
ReplyDeleteHehehe...
ReplyDeleteHehehe...
ReplyDeleteKhoiiir.. .Khoiir. .
ReplyDeleteUswatun hasanah leterasi.
Tanda2 penulis ber bobot ikih... Mantap pak...
ReplyDeleteJudul yang merenungkan
ReplyDelete