Kurang lebih dalam satu semester ke depan, sekolah-sekolah harus siap dengan pembelajaran daring. Jika sejak pertengahan Maret 2020 lalu, kita "terpaksa" melaksanakan pembelajaran daring, maka satu bulan ini harus menyiapkan diri dengan pembelajaran daring yang lebih efektif. Tentunya, dengan melakukan evaluasi terhadap pembelajaran daring yang telah dilaksanakan beberapa bulan ini, sambil mencari celah-celah perbaikan, berdasarkan masalah yang ditemukan.
Rekayasa atau bukan, faktanya Pendemi C19 melanda seluruh dunia. Bukan hanya negara kita, tetapi ratusan negara lainnya juga dibuat "pusing" karena pandemi ini. Sehingga, adaptasi dan modifikasi cara hidup kita mau tidak mau harus segera dilakukan.
Kita sudah tidak boleh lagi terpaku oleh kenangan masa lalu dimana kita dapat hidup dengan enak dan nyaman, tanpa rasa ketakutan paparan Covid 19 yang faktanya telah "mengganggu" kenyamanan hidup kita. Dan, kita harus menyadari, bahwa sebagai salah satu makhluk Allah Swt, Corona sudah tidak bisa lagi lepas dari kehidupan kita. Mereka juga akan hidup di dunia yang sama, dan tetap akan mengancam kenyamanan hidup kita. Hanya saja kita yang harus mengubah pola hidup kita, dengan apa yang disebut kenormalan baru.
Oleh karena itu, pembelajaran daring juga harus menjadi bagian dari kehidupan kita. Hal ini memang menyulitkan, tetapi sisi baiknya adalah membawa kita dalam kehidupan yang lebih simple, efektif, dan efisien. Bayangkan, sebentar lagi, para guru dan kepala sekolah, tidak akan lagi mengikuti diklat-diklat yang membutuhkan biaya besar. Jika biasanya puluhan miliar rupiah diperlukan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan pelatihan di tingkat pusat dengan 500 peserta, dengan menggunakan teknologi IT, kegiatan yang sama cukup berbekal pulsa atau jaringan wifi saja. Biaya akomodasi, transportasi, honorarium, dan biaya-biaya lainnya, dapat dialihkan untuk kegiatan-kegiatan lain yang lebih bermanfaat.
Ke depan, efektivitas pembelajaran daring, tentu akan lebih ditingkatkan. Dalam satu atau dua tahun ke depan, diperkirakan siswa setingkat SMP dan SMA dan para mahasiswa, cukup beberapa kali bertemu dalam satu semester, untuk selanjutnya tugas sekolah dan kuliah dapat diunggah di akun sekolah atau perguruan tinggi. Dengan demikian, biaya transportasi ke sekolah, biaya indekost untuk yang kuliah, biaya buku, dan semuanya, akan dapat dialihkan untuk kepentingan yang lain. Apalagi jika ke depan pemerintah dapat lebih banyak menyediakan buku-buku sekolah dan buku penunjang lainnya dalam bentuk e-book, tentu hal ini akan menjadi model kehidupan yang lebih efektif.
Sekarang saja, orang sudah malas membaca buku, tetapi laju lalu lintas download buku-buku elektronik lebih banyak. Buku yang harus dibeli dengan ratusan ribu, saat ini sudah dapat dibeli secara resmi dalam bentuk e-book, hanya dengan beberapa puluh ribu rupiah. Film-film yang harus kita tonton di bioskup dengan tiket Rp 20.000,- per orang, dapat di download dengan biaya yang sama dan dapat dinikmati oleh banyak orang. Atau, melalui situs tertentu, dengan membayar Rp 30.000 per bulan, kita sudah dapat nonton ratusan film yang kita mau. Belum lagi, situs-situs yang memberikan fasilitas gratis untuk menonton film dan video lainnya dengan mengandalkan iklan dari akun tersebut.
Sebenarnya, kehidupan daring ini sudah kita mulai sejak satu dekade yang lalu. Namun, sekolah belum memanfaatkannya secara maksimal. Sehingga, tetap saja "pemborosan" di pelbagi bidang kita temui dalam kehidupan. Padahal, dalam sudut pandang finansial, pembelajaran dengan daring tentu akan menghemat biaya operasional sekolah. Pembayaran listrik, biaya transport, pembelian buku dan alat pembelajaran, tentu akan lebih berkurang dibanding pembelajaran konvensional. Bahkan, para guru dapat "merangkap" dengan pekerjaan lain, sehingga produktifitas akan meningkat.
Namun demikian, pembelajaran daring tidak bisa efektif untuk anak-anak PAUD, TK, dan SD. Anak-anak dalam usia tersebut tidak hanya membutuhkan konten pembelajaran, tetapi justru penguatan karakter yang lebih utama. Dalam usia-usia ini, pembelajaran tetap harus diarahkan pada pembiasaan, baik pembiasaan untuk hidup sehat, bersikap sopan, berbuat jujur, suka bekerja sama, hormat terhadap yang lebih tua, dan pembiasaan-pembiasaan ibadah lainnya. Penguatan karakter sangat sulit dilakukan dengan mengandalkan daring. Oleh karena itu, tatap muka dan pembimbingan serta sentuhan hati dari guru dan orang tua tetaplah diperlukan. (ans)
Rekayasa atau bukan, faktanya Pendemi C19 melanda seluruh dunia. Bukan hanya negara kita, tetapi ratusan negara lainnya juga dibuat "pusing" karena pandemi ini. Sehingga, adaptasi dan modifikasi cara hidup kita mau tidak mau harus segera dilakukan.
Kita sudah tidak boleh lagi terpaku oleh kenangan masa lalu dimana kita dapat hidup dengan enak dan nyaman, tanpa rasa ketakutan paparan Covid 19 yang faktanya telah "mengganggu" kenyamanan hidup kita. Dan, kita harus menyadari, bahwa sebagai salah satu makhluk Allah Swt, Corona sudah tidak bisa lagi lepas dari kehidupan kita. Mereka juga akan hidup di dunia yang sama, dan tetap akan mengancam kenyamanan hidup kita. Hanya saja kita yang harus mengubah pola hidup kita, dengan apa yang disebut kenormalan baru.
Oleh karena itu, pembelajaran daring juga harus menjadi bagian dari kehidupan kita. Hal ini memang menyulitkan, tetapi sisi baiknya adalah membawa kita dalam kehidupan yang lebih simple, efektif, dan efisien. Bayangkan, sebentar lagi, para guru dan kepala sekolah, tidak akan lagi mengikuti diklat-diklat yang membutuhkan biaya besar. Jika biasanya puluhan miliar rupiah diperlukan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan pelatihan di tingkat pusat dengan 500 peserta, dengan menggunakan teknologi IT, kegiatan yang sama cukup berbekal pulsa atau jaringan wifi saja. Biaya akomodasi, transportasi, honorarium, dan biaya-biaya lainnya, dapat dialihkan untuk kegiatan-kegiatan lain yang lebih bermanfaat.
Ke depan, efektivitas pembelajaran daring, tentu akan lebih ditingkatkan. Dalam satu atau dua tahun ke depan, diperkirakan siswa setingkat SMP dan SMA dan para mahasiswa, cukup beberapa kali bertemu dalam satu semester, untuk selanjutnya tugas sekolah dan kuliah dapat diunggah di akun sekolah atau perguruan tinggi. Dengan demikian, biaya transportasi ke sekolah, biaya indekost untuk yang kuliah, biaya buku, dan semuanya, akan dapat dialihkan untuk kepentingan yang lain. Apalagi jika ke depan pemerintah dapat lebih banyak menyediakan buku-buku sekolah dan buku penunjang lainnya dalam bentuk e-book, tentu hal ini akan menjadi model kehidupan yang lebih efektif.
Sekarang saja, orang sudah malas membaca buku, tetapi laju lalu lintas download buku-buku elektronik lebih banyak. Buku yang harus dibeli dengan ratusan ribu, saat ini sudah dapat dibeli secara resmi dalam bentuk e-book, hanya dengan beberapa puluh ribu rupiah. Film-film yang harus kita tonton di bioskup dengan tiket Rp 20.000,- per orang, dapat di download dengan biaya yang sama dan dapat dinikmati oleh banyak orang. Atau, melalui situs tertentu, dengan membayar Rp 30.000 per bulan, kita sudah dapat nonton ratusan film yang kita mau. Belum lagi, situs-situs yang memberikan fasilitas gratis untuk menonton film dan video lainnya dengan mengandalkan iklan dari akun tersebut.
Sebenarnya, kehidupan daring ini sudah kita mulai sejak satu dekade yang lalu. Namun, sekolah belum memanfaatkannya secara maksimal. Sehingga, tetap saja "pemborosan" di pelbagi bidang kita temui dalam kehidupan. Padahal, dalam sudut pandang finansial, pembelajaran dengan daring tentu akan menghemat biaya operasional sekolah. Pembayaran listrik, biaya transport, pembelian buku dan alat pembelajaran, tentu akan lebih berkurang dibanding pembelajaran konvensional. Bahkan, para guru dapat "merangkap" dengan pekerjaan lain, sehingga produktifitas akan meningkat.
Namun demikian, pembelajaran daring tidak bisa efektif untuk anak-anak PAUD, TK, dan SD. Anak-anak dalam usia tersebut tidak hanya membutuhkan konten pembelajaran, tetapi justru penguatan karakter yang lebih utama. Dalam usia-usia ini, pembelajaran tetap harus diarahkan pada pembiasaan, baik pembiasaan untuk hidup sehat, bersikap sopan, berbuat jujur, suka bekerja sama, hormat terhadap yang lebih tua, dan pembiasaan-pembiasaan ibadah lainnya. Penguatan karakter sangat sulit dilakukan dengan mengandalkan daring. Oleh karena itu, tatap muka dan pembimbingan serta sentuhan hati dari guru dan orang tua tetaplah diperlukan. (ans)
Comments
Post a Comment