Haruskah Tatap Muka?

Dukungan terhadap pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) semakin menguat. Apalagi pemerintah mengizinkan PTM untuk daerah-daerah dengan PPKM level 3. Sementera untuk level 4 PTM masih belum diperbolehkan. Alasan utamanya adalah kesehatan jauh lebih penting daripada pendidikan. Apa gunanya pinter kalau ndak sehat? Mungkin begitu pikiran sebagian orang.

Sebagian lainnya menganggap bahwa membiarkan anak tidak sekolah adalah salah satu bahaya yang luar biasa. Ada kata-kata bijak bahwa "orang yang bodoh seperti mati sebelum mati yang sebenarnya". Membiarkan anak tidak sekolah dan menjadi bodoh, seperti membunuh anak-anak sendiri di masa depan.

Tapi, bukankah belajar tidak harus menggunakan tatap muka? Pada saat anak-anak tidak ke sekolah, bukan berarti anak tidak sekolah, kan? Anak masih bisa belajar secara daring, berdiskusi dengan orang tua, bahkan belajar hal-hal lain di lingkungan keluarganya. Bisa jadi anak-anak lulusan "sekolah Corona" lemah dalam akademis, tapi bisa jadi mereka lebih trampil dalam kecakapan hidup, lebih kreatif, dan lebih mumpuni dalam problem solving.  

Kemungkinan itu selalu ada. Tapi realitasnya adalah tidak semua lingkungan keluarga tempat anak bermain dan belajar dapat mendukung itu semua. Buktinya? Banyak anak-anak yang selama belajar dari rumah hanya bermain, nonton TV, nge-game, bahkan bermain-main di tempat bahaya. Apalagi, orang tua juga tidak selalu ada di rumah bersama mereka.

PTM dan Urgensinya

Idealnya, belajar tetap saja harus ada tatap muka antara guru dan peserta didik. Sekolah adalah lembaga pendidikan, bukan lembaga pembelajaran. Artinya, tugas sekolah dan para guru bukan saja menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga mendidik, membimbing, memotivasi, mengarahkan, dan sebagainya. Tanpa tatap muka, kita tidak bisa men-transfer nilai. Paling-paling yang bisa kita lakukan adalah transfer of knowledge saja. 

Mengapa? Nilai dibangun dari pembiasaan gaess. Kita tidak bisa melatih kedisplinan hanya dengan cara menjelaskan pengertian disiplin, menjelaskan contoh-contoh tindakan kedisplinan, atau membuat kuis tentang kedisiplinan. Kedisiplinan dan nilai-nilai penting lainnya memiliki "ruh" dan "rasa" yang baru muncul kalau kita praktikkan bersama-sama.

Nilai-nilai selalu dibangun dari pembiasaan. Anak-anak yang terbiasa bersih dan rapi akan senantiasa berusaha hidup bersih dan rapi dikala dewasa. Demikian juga ketika mereka terbiasa dengan sikap religius. Dikala dewasa, mereka juga akan memiliki karakter yang religius.

Dengan demikian, PTM tetap diperlukan untuk mentransfer nilai dan membentuk karakter yang mana hal itu sulit didapatkan hanya dengan pembelajaran daring.

PTM dan Ancaman Kesehatan

Pandemi tetap saja merupakan masalah utamanya. Ancaman munculnya klaster baru di sekolah sangat dikhawirkan oleh para epdimiologi. Apalagi jika sekolah sulit atau bahkan tidak bisa menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Ancaman itu sangat rasional karena kita semua menyadari hampir tidak mungkin menjauhkan anak-anak dari teman-temannya ketika mereka berada dalam satu waktu dan tempat yang sama.

Solusinya adalah tetap saja memperketat pelaksanaan prokes di sekolah pada saat nanti pembelajaran tatap muka dilaksanakan. Guru, kepala sekolah, dan semua komponen yang ada di sekolah harus benar-benar serius menjaga prokes. Jangan sampai, baru saja sekolah dibuka, lalu ditutup lagi. Ndak lucu kan?

Comments

Post a Comment