Memperingati Hari Santri Nasional Tahun 2021 sebenarnya tak lepas dari refleksi aktivitas santri. Tentu, santri masa lalu yang kini mungkin sudah jadi kiai. Apa yang beliau lakukan, apa yang beliau perjuangkan, dan apa yang telah beliau berikan kepada kita sebagai generasi penerusnya. Sudah saatnya, setiap peringatan yang kita lakukan, menjadi sesuatu yang bermakna. Begitu kira-kira!
Santri Masa Lalu
Santri masa lalu, identik dengan kehidupan yang sederhana. Tempat tinggal yang kumuh, makan seadanya, hidup serba kekurangan. Belajar di pesantren tidak membayar dengan biaya yang mahal, bahkan ada juga yang gratis. Asalkan mau turut bekerja di sawah atau ladang, milik Pak Kiai.
Kesederhanaan itu, memang sengaja diciptakan. Bahkan, anak orang-orang kaya pun harus rela hidup sederhana ketika di pondok. Hidup memang butuh makan, tetapi hidup bukan hanya untuk makan. Kehidupan santri yang sederhana adalah meneladani kehidupan Nabi Muhamad Saw yang juga sederhana. Apa beliau orang miskin? Tidak. Nabi Muhamad Saw berasal dari keturunan "penggede" Makkah, sehingga berasal dari keluarga yang berada.
Malahan, ketika sudah menikah, beliau menikah dengan saudagar kaya, Siti Khodijah al Kubra. Beliau adalah miliarder zaman sekarang. Bisnisnya hebat luar biasa. Sekelas pemilik perusahaan eksport import lah kalau pada zaman sekarang. Tapi tetap saja, mereka hidup sederhana. Memang itulah yang diajarkan Nabi Muhamamd Saw.
Tapi dalam persoalan ilmu, para santri memiliki laku yang berbeda. Bagi para santri, menuntut ilmu adalah kewajiban utama yang harus dilakukan. Tidak ada waktu tanpa ngaji dan ngaji. Bahkan di sela-sela bekerja pun mereka menghafalkan nadzoman Nahwu, Fiqh, atau ilmu lainnya. Para santri adalah orang-orang yang haus akan ilmu pengetahuan. Sehingga, semua ilmu dipelajarinya.
Maka kebanyakan lulusan pesantren pada masa itu, bisa langsung berkiprah di masyarakat. Pengajian-pengajian di surau dan masjid, penuh dengan alumni pesantren yang mendharmabaktikan ilmunya untuk memajukan umat Islam. Malam hari mereka mengaji, siang hari mereka bekerja. Hebatnya, mereka tidak dibayar untuk melakukan itu.
Keikhlasan itu yang membuat alumni pesantren mendapatkan hati di masyarakat. Maka beberapa tahun kemudian, mereka ditokohkan oleh masyarakat. Tempat bertanya hukum-hukum agama, tempat meminta pertolongan untuk berbagai hajat mereka, bahkan tempat meminta "barokah do'a" untuk pengobatan keluarga yang sakit.
Tidak cukup disitu, santri-santri masa lalu adalah para pejuang. Di pesantren mereka tidak saja belajar ilmu agama, tetapi juga belajar ilmu kanuragan. Ketika penjajah Belanda masih menguasai Indonesia, para santri banyak terlibat bentrok dengan tentara penjajah. Ketika kita sudah merdeka dan Belanda ingin kembali menjajah Indonesia, mereka juga terlibat perjuangan yang dahsyat dalam mempertahankan kemerdekaan.
Santri Masa Sekarang
Bagaimana dengan santri masa sekarang? Tetap saja, kesederhanaan masih menyelemuti kehidupan mereka. Namun dibanding santri-santri dulu, masih enaklah santri sekarang. Banyak pesantren yang telah menyediakan layanan makan sehari-hari, sehingga mereka tidak perlu masak lagi. Bahkan, ada juga orang tua yang rela "nyangoni" lebih, sehingga mereka tidak perlu mencuci sendiri, cukup menyerahkannya ke laundry.
Pondok-pondok tertentu bahkan juga menyediakan fasilitas khusus. Pondok-pondok "elite" ini memang didesain untuk anak orang-orang kaya yang ingin mondok. Selama ini, anak-anak orang kaya terkendala dengan fasilitas pondok pesantren yang biasanya dianggap "kurang bersih" dan rapih. Pondok-pondok dengan jumlah hunian dalam kamar yang sangat terbatas, kamar mandi di dalam, ada AC atau kipas angin, dan berbagai fasilitas lainnya, tersedia disana.
Meskipun demikian, ciri-ciri khusus yaitu pembelajaran kitab kuning klasik dan pembiasaan-pembiasaan qiyamul lail, tadarus al Qur'an, "lalaran nadzoman", dan lain-lain, tetap saja menjadi ciri khas pondok pesantren yang tidak dapat ditinggalkan.
Beberapa pondok pesantren malah lebih maju lagi, yaitu dengan penguasaan teknologi digital di dalam pondok. Sehingga, dakwah dan pengajian pondok yang untuk konsumsi umum dapat langsung dinikmati netizen melalui live streaming youtube, facebook, atau instagram. Pondok-pondok ini telah menguasai teknologi recording baik video maupun audio sehingga banyak produk digital pondok yang sudah dinikmati oleh masyarakat luas.
Santri-santri sekarang sudah tidak alergi dengan internet. Informasi dapat mereka peroleh dari berbagai sumber, baik yang berupa truth maupun hoax. Maka disinilah tantangannya. Para santri harus lebih menguatkan penguasaan hujjah yang dipelajarinya, untuk menjawab tantangan dari pihak luar yang "beda pendapat", yang sering kali menyerang keyakinan para santri yang ber-madzhab atau ber-manhaj.
Gerakan memurnikan Islam dari bid'ah, syirik, dan khurafat, sangat menguat diberbagai media digital. Sasarannya adalah santri pondok pesantren salafiyah (bukan salafi), yang mereka anggapan golongan bid'ah, syirik, dan khurafat itu. Ajaran-ajaran para kiai seperti tahlilan, yasinan, sholawatan, istighotsah, ziaroh wali, diserang habis-habisan dengan dalil-dalil yang sebenarnya sangat dangkal pendalamannya.
Untunglah muncul-muncul "pendekar-pendekar santri" yang sudah siap dengan pemahaman al Qur'an, hadist, atsar sahabat, dan qoul ulama' mujtahid lebih mendalam. Sehingga "pertandingan" yang muncul di media digital menjadi berimbang.
Sementara itu gerakan-gerakan liberalisme dan bahkan atheisme juga menguat di dunia digital. Tokoh-tokoh non muslim, liberal, dan atheis enteng saja mengkampanyekan paham mereka dalam dunia digital. Pertarungan faham pun semakin seru antara kekuatan Islam dan non Islam.
Inilah perjuangan para santri. Jika santri di awal kemerdekaan berjuang dan berperang melawan penjajah Belanda, maka saat ini perjuangannya bukan lagi kontak fisik tetapi berjuang melawan berbagai paham yang mengancam paham Islam ahlussunah wal jamaah.
Santri Masa Depan
Bagaimana santri masa depan? Menurut saya, tantangan antar paham, antar isme, dan tantangan antara hoax and truth, tetap mengemuka. Para santri tidak cukup menguasai materi keIslaman yang dipelajari di pondok pesantren, tetapi juga media digital. Digitalisasi atas nilai-nilai pemahaman Islam ahlussunah wal jamaah ala santri harus dikuatkan agar dapat menjawab tantangan ke depan. Sehingga, para santri sudah tidak boleh lagi anti teknologi digital. Sebaliknya mereka harus menguasainya.
Lebih dari itu, penguasaan bahasa Internasional, meliputi bahasa Inggris, Arab, Mandarin, Perancis, dan lain-lain juga perlu dikuatkan. Hal ini agar para santri dapat menyebarluaskan ajaran Islam ke seluruh dunia dengan bahasa asing yang mereka kuasai. Islam wasathiyah perlu dipahami oleh masyarakat dunia agar Islam tidak lagi dipahami sebagai paham yang radikal apalagi teroris. (ans)
Luar biasa,bagus analisanya Pak Ansorie
ReplyDeleteterima kasih Mas Pri
Delete