R
|
amadhan adalah
momen terindah bagi setiap muslim, laki-laki atau perempuan, besar atau kecil,
anak-anak atau dewasa. Banyak hal khusus yang bisa di dapatkan di bulan mulia
ini. Cara makan yang berbeda, momentum ibadah yang berbeda, dan tentunya
pertemanan yang berbeda. Paling tidak, ada aturan makan minum yang berbeda, ada
tarawih berjamaah di mushola, dan ada "ronda" dengan teman-teman
sekampung, yang tidak mungkin dilaksanakan di luar Ramadhan.

Ramadan
tahun-tahun itu, biasanya sekolah libur sebulan penuh. Sekolah akan buka lagi
setelah Iedul Fitri. Oleh karenanya, banyak waktu untuk berada di rumah,
bermain bersama teman-teman bermain, bahkan “berkarya” dengan sesuatu yang
sebelum-sebelumnya tidak ada.
Pagi
itu, aku bersama beberapa teman berencana membuat “dor-doran”. Makhluk ini
terbuat dari bamboo, dengan sekat bambu yang dilubangi, dan disisakan hanya
diujungnya. Kita akan mengisikan “karbit” dan diisi sedikit air, kemudian dari
lubangnya itu akan kita sulutkan api. Dan hasilnya….”jleemmmm”, dentuman keras
akan mengguncang satu RT.
Semuanya
sudah siap, bamboo sebesar paha dengan ukuran satu setengah meter, sudah kami
bersihkan, dan sudah kami hilangkan sekat bambunya. Tinggal membuat lubang
kecil diujung bawah, tempat kami menyulutkan api. Tapi akung, ketika kami
berkumpul di belakang rumah, semuanya ndak ada yang membawa benda tajam. Terpaksa
aku pulang mengambil sabit yang biasa digunakan bapak untuk sekedar
membersihkan sekitar rumah.
Beberapa
menit aku beroperasi di dapur, menelusuri tempat-tempat dimana biasanya bapak
menaruh sabit itu. Tapi, setelah sekian lama, nggak ketemu juga. Aku kembali ke
teman-temanku yang berada di ujung “tegalan”.
“Nggak
ketemua itu sabitnya, piye iki?” Tanyaku
kepada teman-temanku
“Pean aja Kuh, kamu kan punya sabit yang
tajam…” Kataku pada Kukuh, salah seorang temanku dalam gank itu.
“Iya,
tapi kan jauh…, kamu aja Cuk…” kata Kukuh kepada Cucuk, temanku yang lain
“Hadeeh…aku
lagi, kemarin yang bersihkan bambu kan aku..masak aku lagi…” Rajuk Cucuk
“Iya
udah, aku aja…,” Kukuh akhirnya mengalah dan mengambil sabit.
Sekarang
sabit sudah ada ditangan Kukuh. Ia mulai membuat lubang kecil diujung bawah bambu.
Tak lama kemudian siaplah lubang itu. meriam bamboo siap digunakan.
“Gimana,
kita nyalakan sekarang?” Tanyaku pada teman-teman.
“Ayooo…”
jawab teman-temanku
Kukuh
dan Cucuk lalu mengangkat meriam bamboo itu ke pinggir tegalan. Disitu ada
bebarapa pohon “rajek” yang dapat digunakan untuk meletakkan meriam bambu agar
posisinya dapat miring sebelah. Ujung bamboo diarahkan ke selatan, mengarah ke
rumah Mbah Kardi. Tegalan Mbah Kardi cukup luas, sehingga jarak antara rumah
beliau dan tempat menyalakan meriam agak jauh.
Aku
memasuk satu buah karbit seukuran jempol kaki ke dalam meriam bambu. Setelah itu
air dimasukkan dan ditunggu beberapa saat. Ujung meriam kita tutup dengan sampah
plastic yang berserakan disekitar tempat kami berkumpul.
“Piye, siap?” tanyaku pada teman-teman
“Iya,
siap…sekarang yuh….”
Aku
menyalakan tongkat kecil yang diujungnya ditalikan kain dan dicelupkan ke
minyak tanah. Api berkobar diujung tongkat kecil itu, lalu kuarahkan ke lubang
kecil pemicu meriam bambu. Dan…..
“Jlemmmmbbbb….”
Suara yang keluar dari meriam bambu itu membuat pohon-pohon kecil di sekitar
ikut bergetar. Aku kaget sekali, nggak mengira
kalau suaranya akan sekeras itu. Mungkin karena bambunya yang cukup besar, atau
karbitnya yang terlalu gedhe.
Semuanya
berteriak, bersorak, dan bergembira. Tertawa terbahak-bahak meskipun agak kaget
juga mendengar dentuman itu.
“Hoeeeh…siapa
itu, main dor-doran di belakang rumahku” terdengar seseorang teriak-teriak dari
belakang kami. Semua menoleh, dan melihat Mbah Sadi membawa sabit yang
diacung-acungkan dengan wajah tampak marah sekali. Ternyata beliau sedang tidur
dan kaget oleh suara dentuman yang mengguncang. Dan, aku dan teman-temanku pun
ketakutan.
“Larii….”
Teriakku. Semua berlarian menjauh. Meninggalkan Mbah Sadi yang marah-marah dan
memorakporandakan meriam bambu karya kami sejak pagi. Hadeeh….(ans)
Comments
Post a Comment